Impor Sayuran, Buah, Garam, Dll
Oleh: Jousairi Hasbullah
Faisal mengutip data BPS. Mencengangkan. Dia bilang. Untuk sayur saja kita impor 11.5 Trilyun rupiah. Itu data selama tahun 2019. Kurs yg digunakan Faisal mungkin ketinggian. Karena nilai dalam US $ nya sebesar US$ 770.14 juta. Tetapi bagaimanapun. Nilai itu fantastis.
Benar. Dari dulu kita sering persoalkan. Kok sayur saja harus impor dengan nilai yg sangat besar. Faisal tidak mengurai asal barang. Ini saya kasih tau. Dari nilai impor sayur yg dikutip Faisal tersebut, 76 persennya atau senilai 8.2 triyun rupiah ( tergantung kurs), diimpor dari China. Luar biasa memang. Belanja sayur dari China sampe segitunya.
Aneh lagi senilai Rp 350 milyar selama 2019 kita beli sayur dari negeri gurun Ethiopia. Senilai Rp 322 milyar beli sayur dari India.
Anda akan terpesona.
Dari data BPS yg saya kutip, impor buah-buahan tak kalah "remarkable". Dengan kurs Rp 14 ribu saja, nilai impor buah tersebut sebesar Rp 21 trilyun selama tahun 2019 ( baca lagi: 21 triyun rupiah) dan senilai 11.4 triyun diimpor dari China; Dari Thailand senilai 2 trilyun rupiah.
Belum puas? Selama tahun 2019, tembakau pun kita impor (senilai 8.1 triyun rupiah) dan China cukup dominan yaitu senilai 2,6 triyun rupiah.
Kedelai? Lebih fantastik. Sebesar 15 triyun kita keluarkan untuk belanja kedelai. Dominasinya yaitu sekitar 95 persen atau 14 triyun rupiah, impor kedelai dari Amerika.
Garam? Kita impor senilai 1,3 triyun. Sekitar 95 persennya dari Australia.
Ini Indonesia negeri subur makmur gemah ripah lohjinawi..tongkat kayu jadi tanaman kenapa begini ya. Nggak masuk akal memang.
Pak Jokowi, saya tau, sudah sangat prihatin dengan situasi ini. Tetapi kok masih terjadi? Perlu diteliti. Tangan apa dan siapa yang sangat kuat mencengkeram, agar kita terus impor. Sementara produksi petani di tanah subur ini, sangat tersendat. Perlu langkah-langkah yg sangat konkrit dan revolusioner.
JSH
Senin 25 Mai 2020.
Monday, May 25, 2020
Wednesday, May 20, 2020
Hari Tua Seorang Statistisi
Hari Tua Seorang Statistisi
Oleh: Jousairi Hasbullah.
Old Statistician Never Die.
Ramadhan hari ke 27. Tulisan ini untuk blog saya: jshcenter.blogspot.com tapi saya share juga ke sini.Siapa tau ada yg bisa dipetik.
Setelah pensiun ada yg memilih nyari kerja.Jadi dosen, karyawan tetap atau apalah. Ada yg berwirausaha. Ada pula yg memilih berkebun, melihara ternak atau apalah. Ada pula yg khusus ritual ibadah. Atau ada pula yg mengkhususkan tugasnya sebagai pengantar anak dan isteri. Semua itu pilihan. Semua pilihan itu mulia. Itulah hidup.
Saya barangkali agak outlier, agak beda. Dari sejak saya muda, saya telah mendiskusikan terkait problem of ultimacy (tentang tujuan berkarir) dan menetapkan pilihan bahwa ketika pensiun saya harus menjadi insan merdeka. Kalau masih bisa dihindarkan janganlah lagi di usia tua masih mau ngabsen/handkey, tiap hari masuk kerja.
Dari umur tigapuluhan, saya terbiasa dengan apa yg oleh para filosof aliran Aristotelenialism dikenal sebagai deferred gratification ( melakoni kesenangan yg tertunda: berpuasa kemewahan). Sekecil apa pun rezeki yg diperoleh, dikelola dengan telaten dan prihatin.Mulai investasi kecil-kecilan. Itulah syir'ah dan minhaj ( jalan dan cara) yang jadi pilihan. Saya kerja ngotot dengan cinta, tetapi saya tak pula lengah. Terus mempersiapkan masa depan dg sungguh-sungguh. Pensiun. Saya ingin menjadi manusia yg merdeka. Mandiri. Berdaulat. Adil dan agak-sedikit makmur.
Sudah dua tahun lebih saya pensiun. Cukup banyak yg nawari kerja, termasuk di lembaga internasional..Baik ketika sebelum sakit. Maupun ketika sekarang sudah lumayan sehat. Pilihan saya masih konsisten. Saya menghindari yg tiap hari harus ngabsen. Saya ingin merdeka, berdaulat dan mandiri. Pilihan saya bulat. Saya ingin terbang bebas mengangkasa bersama para bidadari. Menebas langit menembus cakrawala. Kalau mungkin, dan diizinkan-Nya, kebebasan ini mengepak jauh. Tak usah sampe di tepian langit ke tujuh (sacred canopy), tapi cukup jauh. Dengan membawa rasa cinta. Dengan napas kebebasan adalah DATA beserta segenap makna, misteri, dan kebahagiaan di dalamnya dan abadi (kholidina fiha)
Sewaktu saya masih kerja di BPS, saya bukan tenaga upahan dan buruh negara. Tidak sama sekali. Apa pun yg dulu saya kerjakan bukan karena sy disuruh-suruh sebagai buruh. Bukan, melainkan karena kesadaran dan kecintaan. Kesadaran bahwa dengan data saya mengembangkan pikiran..dengan berpikir fact-based maka saya ada ( cogitu ergo sum).
Mereka yg bekerja sebagai buruh negara, begitu pensiun semua akan dilucuti. Selesai. Seolah tanpa bekas. Saya ada di jalan yg berbeda. Bagi saya BPS adalah bidadari yg menerbangkan saya menjadi insan yg berdaulat dan berkuasa penuh atas makna-makna yg saya kenali..dan akan terus terbang. Sambil juga membawa marah😀😀. Dengan data saya akan dan bisa marah pada saya, padanya, pada dia, pada paduka dan pada siapa saja.
Setiap hari saya terus menekuni spritual dan DATA. Untuk apa? Untuk kebahagiaan hidup. Memperkaya hidup dg makna-makna. Setiap saya membaca data dan mengkonfrontirnya dengan teori yg saya pelajari dan dalami, dengan filosofi2 yg membentuknya; pikiran saya jadi cerah, hati nyaman, jiwa tenang dan damai; seakan terbang bebas di angkasa raya. Inilah hari tua yg memang dari dulu saya impikan. Manusia data yg bebas merdeka dengan cintanya.
Anda bekerja di dunia data statistics? Anda sangat mulia, sayang kalau kemuliaan itu tersia-siakan.
Note: dua hari yg lalu sy mengirim hasil perjalanan penelusuran saya dg data tentang Inggris dan Canada ke bapak Kepala BPS-RI, pak Kecuk sahabat saya. Sebagai sahabat, beliau membalas..dua hari berturut-turut Beliau mengirim saya bingkisan berupa kumpulan data..dan itu saya nikmati. Indahnya hidup dengan DATA. Walal akhiratu khoirun laka minal min al ula.
Bandung 20 Mai 2020.
Renungan Ramadhan.
Berpuasa hari ke 27.
Oleh: Jousairi Hasbullah.
Old Statistician Never Die.
Ramadhan hari ke 27. Tulisan ini untuk blog saya: jshcenter.blogspot.com tapi saya share juga ke sini.Siapa tau ada yg bisa dipetik.
Setelah pensiun ada yg memilih nyari kerja.Jadi dosen, karyawan tetap atau apalah. Ada yg berwirausaha. Ada pula yg memilih berkebun, melihara ternak atau apalah. Ada pula yg khusus ritual ibadah. Atau ada pula yg mengkhususkan tugasnya sebagai pengantar anak dan isteri. Semua itu pilihan. Semua pilihan itu mulia. Itulah hidup.
Saya barangkali agak outlier, agak beda. Dari sejak saya muda, saya telah mendiskusikan terkait problem of ultimacy (tentang tujuan berkarir) dan menetapkan pilihan bahwa ketika pensiun saya harus menjadi insan merdeka. Kalau masih bisa dihindarkan janganlah lagi di usia tua masih mau ngabsen/handkey, tiap hari masuk kerja.
Dari umur tigapuluhan, saya terbiasa dengan apa yg oleh para filosof aliran Aristotelenialism dikenal sebagai deferred gratification ( melakoni kesenangan yg tertunda: berpuasa kemewahan). Sekecil apa pun rezeki yg diperoleh, dikelola dengan telaten dan prihatin.Mulai investasi kecil-kecilan. Itulah syir'ah dan minhaj ( jalan dan cara) yang jadi pilihan. Saya kerja ngotot dengan cinta, tetapi saya tak pula lengah. Terus mempersiapkan masa depan dg sungguh-sungguh. Pensiun. Saya ingin menjadi manusia yg merdeka. Mandiri. Berdaulat. Adil dan agak-sedikit makmur.
Sudah dua tahun lebih saya pensiun. Cukup banyak yg nawari kerja, termasuk di lembaga internasional..Baik ketika sebelum sakit. Maupun ketika sekarang sudah lumayan sehat. Pilihan saya masih konsisten. Saya menghindari yg tiap hari harus ngabsen. Saya ingin merdeka, berdaulat dan mandiri. Pilihan saya bulat. Saya ingin terbang bebas mengangkasa bersama para bidadari. Menebas langit menembus cakrawala. Kalau mungkin, dan diizinkan-Nya, kebebasan ini mengepak jauh. Tak usah sampe di tepian langit ke tujuh (sacred canopy), tapi cukup jauh. Dengan membawa rasa cinta. Dengan napas kebebasan adalah DATA beserta segenap makna, misteri, dan kebahagiaan di dalamnya dan abadi (kholidina fiha)
Sewaktu saya masih kerja di BPS, saya bukan tenaga upahan dan buruh negara. Tidak sama sekali. Apa pun yg dulu saya kerjakan bukan karena sy disuruh-suruh sebagai buruh. Bukan, melainkan karena kesadaran dan kecintaan. Kesadaran bahwa dengan data saya mengembangkan pikiran..dengan berpikir fact-based maka saya ada ( cogitu ergo sum).
Mereka yg bekerja sebagai buruh negara, begitu pensiun semua akan dilucuti. Selesai. Seolah tanpa bekas. Saya ada di jalan yg berbeda. Bagi saya BPS adalah bidadari yg menerbangkan saya menjadi insan yg berdaulat dan berkuasa penuh atas makna-makna yg saya kenali..dan akan terus terbang. Sambil juga membawa marah😀😀. Dengan data saya akan dan bisa marah pada saya, padanya, pada dia, pada paduka dan pada siapa saja.
Setiap hari saya terus menekuni spritual dan DATA. Untuk apa? Untuk kebahagiaan hidup. Memperkaya hidup dg makna-makna. Setiap saya membaca data dan mengkonfrontirnya dengan teori yg saya pelajari dan dalami, dengan filosofi2 yg membentuknya; pikiran saya jadi cerah, hati nyaman, jiwa tenang dan damai; seakan terbang bebas di angkasa raya. Inilah hari tua yg memang dari dulu saya impikan. Manusia data yg bebas merdeka dengan cintanya.
Anda bekerja di dunia data statistics? Anda sangat mulia, sayang kalau kemuliaan itu tersia-siakan.
Note: dua hari yg lalu sy mengirim hasil perjalanan penelusuran saya dg data tentang Inggris dan Canada ke bapak Kepala BPS-RI, pak Kecuk sahabat saya. Sebagai sahabat, beliau membalas..dua hari berturut-turut Beliau mengirim saya bingkisan berupa kumpulan data..dan itu saya nikmati. Indahnya hidup dengan DATA. Walal akhiratu khoirun laka minal min al ula.
Bandung 20 Mai 2020.
Renungan Ramadhan.
Berpuasa hari ke 27.
Sunday, May 10, 2020
Kisruh Data untuk Bantuan terkait Covid19.
Kisruh Data untuk Bantuan terkait Covid19.
Oleh: Jousairi Hasbullah
Soal DATA kok jadi kisruh begini? Karena kita tau data tapi nggak paham data. Titik.
Untuk distribusi bantuan ke masyarakat bawah terkait dampak Covid19, data yg dijadikan rujukan adalah data Kemensos yg telah berkali-kali mereka verifikasi dari asalnya,data dasar hasil PBDT2015. Atau, bantuan diberikan bahkan tidak pake rujukan data.
Tulisan kecil ini sekadar info aja. Siapa tau dpt menambah pemahaman kita terkait data. Kebetulan, waktu itu sy pernah kerja di BPS. Jadi sedikit tau ikhwal data untuk Social Targetting.
Indonesia punya pendataan khusus untuk social targetting. Bantuan sosial. Untuk cash transfer ( CT ) atau yg conditional (CCT) seperti PKH dll. Sudah EMPAT kali BPS ikut membantu pemerintah menyediakan data untuk Perlindungan Sosial ( Statistik sesungguhnya tidak berurusan dengan data invidual, tapi aggregatif. Walau UNSD akhir-akhir ini cenderung dilematis)
Pertama, tahun 2005. Namanya Pendataan Sosial Ekonomi ( PSE2005). Mendata 19.1 juta Rumahtangga Sasaran ( RTS) untuk keperluan penyaluran BLT 2005. Lalu data ini diperbaharui tahun 2008 menghasilkan 18.5 juta RTS, juga untuk penyempurnaan distribusi BLT. Lalu diperbaharui lagi thn 2011, namanya PPLS ( Pendataan Program Perlindungan Sosial) menghasilkan 25.2 juta RTS untuk tujuan distribusi BLSM, KKS, KIS, KIP 2014. Mengapa datanya beda? Itu tergantung kebutuhan target sasaran oleh Pemerintah seperti program-program tersebut di atas.
Pendataan masif terakhir yang melibatkan BPS sebagai pelaksana di lapangan adalah Pendataan Basis Data Terpadu Tahun 2015 ( PBDT2015) untuk mendapatkan 40 persen, secara nasional, penduduk dg dengan sosial-ekonomi terbawah. Tiap provinsi tentu hasilnya berbeda-beda tergantung tingkat kemiskinannya. Contoh Papua. Sekitar 80 persen orang Papua masuk ke dalam basket 40 persen rumah tangga dg sosek terbawah Nasional. DKI cuma 11 persen yg masuk basket tersebut.
Pendataan BDT 2015 sangat komprehensif. Prosesnya sangat holistik-integratif. Melibatkan disiplin ilmu statistik yang rumit dan telaten, dikombinasikan dengan pengetahuan sosiologis yang cerdas-relevan-koheren sesuai situasi sosiologis masyarakat in situ. Tahapannya disebut sebagai EMIC proses. Artinya mengakomodasi pandangan In-Situ ( lokal komunitas kecil) melalui tahapan penting yang disebut Forum Konsultasi Publik (FKP).
FKP ini diikuti oleh para Kades, Kadus, Ketua RW/RT, Tomas dan Toga. Se Indonesia tersedia 25,2 juta Rumah Tangga listed (RTS) hasil PPLS 2011 ditambah 2.8 juta ruta data program. Total ada 28 juta rumahtangga yg kemudian di verifikasi di forum FKP. Hasilnya diperoleh 24.1 juta rumahtangga verified ditambah 4.7 juta rumahtangga usulan baru dari peserta FKP. Total 28.8 juta rumah tangga.
Proses selanjutnya, adalah tahapan dengan proses statistik yg rumit berupa pendataan lapangan ( tidak ditemukan 2.6 juta rumahtangga dan ada temuan baru sebanyak 911 ribu rumah tangga). Kemudian dilakukan pengolahan data dan proses statistik yang komprehensif-precise yaitu berupa proses PMT ( Proxy Mean Test). Hasil akhir diperoleh: 25 771 493 rumah tangga atau 93 026 921 jiwa. Mereka adalah 40 persen nasional, berada di sosial ekonomi terbawah. Semua program Perlindungan Sosial yang ada mengacu ke Data ini, entah semuanya atau dengan sebagian datanya. Tergantung siapa dan seberapa besar target sasaran.
Betul. Data terakhir itu data 2015. BPS mendatanya. TNP2K yang punya data dan berkolaborasi dg masing2 pemda. Kemudian, data basenya sesuai UU, dipegang oleh Kemensos. Setiap enam bulan dimutakhirkan oleh jajaran Kemensos. Sejak thn 2015 BPS tidak lg terlibat. Dinas Sosial masing2 prov/kabupaten/kota yang memutakhirkannya. Sudah pasti melibatkan RT/RW setempat dan petugas Dinsos.
Apa yg terjadi? Wallohuaklam. Yang jelas prinsip-prinsip objektivitas statistik, cenderung tidak lagi digunakan.
Data 40 persen: Relevankah untuk RTS Bantuan Covid19?
Pandangan saya. Pertama,
Kalau verifikasi selama beberapa tahun terakhir ini yg dilakukan oleh Kemensos, maksimal, data tersebut sangat bagus. Tetapi jika prosesnya minimalis, hasilnya dipastikan justru akan mengundang masalah. Tetapi walau datanya terverifikasi dg baik sekalipun, belum tentu pas untuk dijadikan satu-satunya rujukan.
Kedua, data PBDT2015 menghasilkan batas tingkatan sosial ekonomi di level faktual-lapangan sangat "imajiner"-matematis. Pemotongan batas 40 persen terbawah dengan yang di atasnya bagi keilmuan statistik: sangat biasa dan jelas. Bagi awam kadang sangat tidak jelas. Karena mereka yang "diperbatasan"/ di garis batas, kadang tak bisa dibedakan oleh awam tapi bisa dibedakan oleh hasil hitungan, skor, statistik. Jadi kalau data yang asalnya bagus tersebut tiba2 diaplikasikan begitu saja di lapangan akan sangat riskan. Karena mereka yang berada di sekitar garis batas (yang tidak masuk dalam basket) secara kasat mata situasinya tidak berbeda dg mereka yang dalam basket 40 persen.
Ketiga, penggunaan data yang ada sekarang, itu ( kalau verifikasi oleh kemensos benar) hanya cocok untuk kondisi normal. Bukan kondisi Konjungtural. Dalam kondisi bencana tiba-tiba ( faktor konjungturnya yg lebih menonjol) jutaan orang ramai-ramai jatuh menjadi miskin. PHK besar2an, buruh dan pengusaha rumah tangga yg tiba2 kehilangan pekerjaan, maka dengan hanya mempedomani data yang ada saat ini: jelas Blunder besar dan sangat tidak cerdas.
JSH
During Stay at Home Covid19.
Bandung 10 May 2020.
Oleh: Jousairi Hasbullah
Soal DATA kok jadi kisruh begini? Karena kita tau data tapi nggak paham data. Titik.
Untuk distribusi bantuan ke masyarakat bawah terkait dampak Covid19, data yg dijadikan rujukan adalah data Kemensos yg telah berkali-kali mereka verifikasi dari asalnya,data dasar hasil PBDT2015. Atau, bantuan diberikan bahkan tidak pake rujukan data.
Tulisan kecil ini sekadar info aja. Siapa tau dpt menambah pemahaman kita terkait data. Kebetulan, waktu itu sy pernah kerja di BPS. Jadi sedikit tau ikhwal data untuk Social Targetting.
Indonesia punya pendataan khusus untuk social targetting. Bantuan sosial. Untuk cash transfer ( CT ) atau yg conditional (CCT) seperti PKH dll. Sudah EMPAT kali BPS ikut membantu pemerintah menyediakan data untuk Perlindungan Sosial ( Statistik sesungguhnya tidak berurusan dengan data invidual, tapi aggregatif. Walau UNSD akhir-akhir ini cenderung dilematis)
Pertama, tahun 2005. Namanya Pendataan Sosial Ekonomi ( PSE2005). Mendata 19.1 juta Rumahtangga Sasaran ( RTS) untuk keperluan penyaluran BLT 2005. Lalu data ini diperbaharui tahun 2008 menghasilkan 18.5 juta RTS, juga untuk penyempurnaan distribusi BLT. Lalu diperbaharui lagi thn 2011, namanya PPLS ( Pendataan Program Perlindungan Sosial) menghasilkan 25.2 juta RTS untuk tujuan distribusi BLSM, KKS, KIS, KIP 2014. Mengapa datanya beda? Itu tergantung kebutuhan target sasaran oleh Pemerintah seperti program-program tersebut di atas.
Pendataan masif terakhir yang melibatkan BPS sebagai pelaksana di lapangan adalah Pendataan Basis Data Terpadu Tahun 2015 ( PBDT2015) untuk mendapatkan 40 persen, secara nasional, penduduk dg dengan sosial-ekonomi terbawah. Tiap provinsi tentu hasilnya berbeda-beda tergantung tingkat kemiskinannya. Contoh Papua. Sekitar 80 persen orang Papua masuk ke dalam basket 40 persen rumah tangga dg sosek terbawah Nasional. DKI cuma 11 persen yg masuk basket tersebut.
Pendataan BDT 2015 sangat komprehensif. Prosesnya sangat holistik-integratif. Melibatkan disiplin ilmu statistik yang rumit dan telaten, dikombinasikan dengan pengetahuan sosiologis yang cerdas-relevan-koheren sesuai situasi sosiologis masyarakat in situ. Tahapannya disebut sebagai EMIC proses. Artinya mengakomodasi pandangan In-Situ ( lokal komunitas kecil) melalui tahapan penting yang disebut Forum Konsultasi Publik (FKP).
FKP ini diikuti oleh para Kades, Kadus, Ketua RW/RT, Tomas dan Toga. Se Indonesia tersedia 25,2 juta Rumah Tangga listed (RTS) hasil PPLS 2011 ditambah 2.8 juta ruta data program. Total ada 28 juta rumahtangga yg kemudian di verifikasi di forum FKP. Hasilnya diperoleh 24.1 juta rumahtangga verified ditambah 4.7 juta rumahtangga usulan baru dari peserta FKP. Total 28.8 juta rumah tangga.
Proses selanjutnya, adalah tahapan dengan proses statistik yg rumit berupa pendataan lapangan ( tidak ditemukan 2.6 juta rumahtangga dan ada temuan baru sebanyak 911 ribu rumah tangga). Kemudian dilakukan pengolahan data dan proses statistik yang komprehensif-precise yaitu berupa proses PMT ( Proxy Mean Test). Hasil akhir diperoleh: 25 771 493 rumah tangga atau 93 026 921 jiwa. Mereka adalah 40 persen nasional, berada di sosial ekonomi terbawah. Semua program Perlindungan Sosial yang ada mengacu ke Data ini, entah semuanya atau dengan sebagian datanya. Tergantung siapa dan seberapa besar target sasaran.
Betul. Data terakhir itu data 2015. BPS mendatanya. TNP2K yang punya data dan berkolaborasi dg masing2 pemda. Kemudian, data basenya sesuai UU, dipegang oleh Kemensos. Setiap enam bulan dimutakhirkan oleh jajaran Kemensos. Sejak thn 2015 BPS tidak lg terlibat. Dinas Sosial masing2 prov/kabupaten/kota yang memutakhirkannya. Sudah pasti melibatkan RT/RW setempat dan petugas Dinsos.
Apa yg terjadi? Wallohuaklam. Yang jelas prinsip-prinsip objektivitas statistik, cenderung tidak lagi digunakan.
Data 40 persen: Relevankah untuk RTS Bantuan Covid19?
Pandangan saya. Pertama,
Kalau verifikasi selama beberapa tahun terakhir ini yg dilakukan oleh Kemensos, maksimal, data tersebut sangat bagus. Tetapi jika prosesnya minimalis, hasilnya dipastikan justru akan mengundang masalah. Tetapi walau datanya terverifikasi dg baik sekalipun, belum tentu pas untuk dijadikan satu-satunya rujukan.
Kedua, data PBDT2015 menghasilkan batas tingkatan sosial ekonomi di level faktual-lapangan sangat "imajiner"-matematis. Pemotongan batas 40 persen terbawah dengan yang di atasnya bagi keilmuan statistik: sangat biasa dan jelas. Bagi awam kadang sangat tidak jelas. Karena mereka yang "diperbatasan"/ di garis batas, kadang tak bisa dibedakan oleh awam tapi bisa dibedakan oleh hasil hitungan, skor, statistik. Jadi kalau data yang asalnya bagus tersebut tiba2 diaplikasikan begitu saja di lapangan akan sangat riskan. Karena mereka yang berada di sekitar garis batas (yang tidak masuk dalam basket) secara kasat mata situasinya tidak berbeda dg mereka yang dalam basket 40 persen.
Ketiga, penggunaan data yang ada sekarang, itu ( kalau verifikasi oleh kemensos benar) hanya cocok untuk kondisi normal. Bukan kondisi Konjungtural. Dalam kondisi bencana tiba-tiba ( faktor konjungturnya yg lebih menonjol) jutaan orang ramai-ramai jatuh menjadi miskin. PHK besar2an, buruh dan pengusaha rumah tangga yg tiba2 kehilangan pekerjaan, maka dengan hanya mempedomani data yang ada saat ini: jelas Blunder besar dan sangat tidak cerdas.
JSH
During Stay at Home Covid19.
Bandung 10 May 2020.
Saturday, May 9, 2020
Primitif: BAB tanpa Toilet
Kultur Primitif: BAB tanpa Toilet
Oleh: Jousairi Hasbullah
Buang Air Besar (BAB) tanpa toilet atau yang secara internasional disebut, Open Defacation, mengundang masalah serius. UN mencanangkan lewat SDGs untuk menghapus tradisi buruk ini di tahun 2030.
Unicef mengingatkan bahwa setiap satu gram tinja dapat mengandung seribu kista parasit, 10 juta virus, dan satu juta bakteri. Mereka yang tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum makan menyebabkan 800 ribu kematian akibat diare setiap tahun. Dampak nyata lain dari tingginya angka Open Defacation ini ( BAB sembarangan): kematian bayi, stunting dan beragam problem kesehatan lainnya.
Tidak itu saja. Rumahtangga yang hidup tanpa toilet indikasi dari kultur primitif bonding, inert dan sulit berubah. Mereka sangat rawan kemiskinan dan berbagai problem keterbelakangan.
Di Indonesia, mereka yg hidup dengan :open defacation, BAB tanpa toilet, dari hasil Susenas, masih sangat memperihatinkan. Susenas 2019 masih menemukan bahwa 7.6 persen orang Indonesia BAB sembarangan. Di Aceh 16.1 persen, Sulteng 18.48 persen ( angka di Sulteng Dalam Angka, tapi Angka di Pusat 18.61 persen). Di Sulawesi Barat 16.39 persen.
Di provinsi dengan infrastruktur yg maju seperti di pulau Jawa, keadaannya juga tak kalah memperihatinkan, terutama di provinsi Jawa Timur (9.58 persen) dan provinsi Banten ( 9.16 persen).
Di zaman industri 4.0 dan di era pembangunan SDM besar-besaran saat ini, data Susenas 2019 menunjukkan bahea di provinsi maju Jawa Timur yaitu di Kabupaten Bondowoso masih 37.6 persen BAB tanpa toilet. Di Situbondo 36.1 persen, di Jember 28.1 persen. Di kabupaten Probolinggo sebesar 27.5 persen.
Di Provinsi Banten, kabupaten Lebak 27.1 persen, Pandeglang 25.0 persen, bahkan di kabupaten Serang sebesar 15.0 persen. Open defacation di kebun, di tanah lapang, di hakaman dan temoat lainnya, tanpa toilet.
Kabupaten Luar Jawa, yg masih sangat tinggi angka open defacationnya antara lain kabupaten Mamuju di Sulbar 28.0 persen dan di Sulteng di kabupaten Donggala sebesar 31.6 p dan Parigi Moutong sebesar 32.6 persen ( BPS, Susenas 2019)
Kemana para Gubernur, Bupati dan tokoh-tokoh masyarakat sipil setempat? Mengapa masih membiarkan terus bertahannya kultur primitif yang sangat membahayakan kelangsungan hidup suatu generasi. Hidup dengan kultur yg jorok dan berbahaya. Ironisnya ketidakwajaran ini terjadi di daerah-daerah yg secara religius: terkenal taat dan kuat.
Note: ketika saya masih menjabat Kepala BPS Jatim di tahun 2014, berapa kali fakta Open Defacation (BAB sembarangan) di Bondowoso, Situbondo, Jember dan Probolinggo ini saya sampaikan ke Gubernur Jatim. Beliau responsif. Saya dengar Beliau sudah berupaya tapi ternyata hasilnya belum optimal..Ini perlu langkah nyata dan terus menerus. Tidak mudah. Masalahnya bukan karena keberadaan toilet tetapi lebih ke masalah kultur yg penanganannya perlu sangat komprehensif.
JSH
Bandung May 2020
In the time of Covid19 stay at home.
Oleh: Jousairi Hasbullah
Buang Air Besar (BAB) tanpa toilet atau yang secara internasional disebut, Open Defacation, mengundang masalah serius. UN mencanangkan lewat SDGs untuk menghapus tradisi buruk ini di tahun 2030.
Unicef mengingatkan bahwa setiap satu gram tinja dapat mengandung seribu kista parasit, 10 juta virus, dan satu juta bakteri. Mereka yang tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum makan menyebabkan 800 ribu kematian akibat diare setiap tahun. Dampak nyata lain dari tingginya angka Open Defacation ini ( BAB sembarangan): kematian bayi, stunting dan beragam problem kesehatan lainnya.
Tidak itu saja. Rumahtangga yang hidup tanpa toilet indikasi dari kultur primitif bonding, inert dan sulit berubah. Mereka sangat rawan kemiskinan dan berbagai problem keterbelakangan.
Di Indonesia, mereka yg hidup dengan :open defacation, BAB tanpa toilet, dari hasil Susenas, masih sangat memperihatinkan. Susenas 2019 masih menemukan bahwa 7.6 persen orang Indonesia BAB sembarangan. Di Aceh 16.1 persen, Sulteng 18.48 persen ( angka di Sulteng Dalam Angka, tapi Angka di Pusat 18.61 persen). Di Sulawesi Barat 16.39 persen.
Di provinsi dengan infrastruktur yg maju seperti di pulau Jawa, keadaannya juga tak kalah memperihatinkan, terutama di provinsi Jawa Timur (9.58 persen) dan provinsi Banten ( 9.16 persen).
Di zaman industri 4.0 dan di era pembangunan SDM besar-besaran saat ini, data Susenas 2019 menunjukkan bahea di provinsi maju Jawa Timur yaitu di Kabupaten Bondowoso masih 37.6 persen BAB tanpa toilet. Di Situbondo 36.1 persen, di Jember 28.1 persen. Di kabupaten Probolinggo sebesar 27.5 persen.
Di Provinsi Banten, kabupaten Lebak 27.1 persen, Pandeglang 25.0 persen, bahkan di kabupaten Serang sebesar 15.0 persen. Open defacation di kebun, di tanah lapang, di hakaman dan temoat lainnya, tanpa toilet.
Kabupaten Luar Jawa, yg masih sangat tinggi angka open defacationnya antara lain kabupaten Mamuju di Sulbar 28.0 persen dan di Sulteng di kabupaten Donggala sebesar 31.6 p dan Parigi Moutong sebesar 32.6 persen ( BPS, Susenas 2019)
Kemana para Gubernur, Bupati dan tokoh-tokoh masyarakat sipil setempat? Mengapa masih membiarkan terus bertahannya kultur primitif yang sangat membahayakan kelangsungan hidup suatu generasi. Hidup dengan kultur yg jorok dan berbahaya. Ironisnya ketidakwajaran ini terjadi di daerah-daerah yg secara religius: terkenal taat dan kuat.
Note: ketika saya masih menjabat Kepala BPS Jatim di tahun 2014, berapa kali fakta Open Defacation (BAB sembarangan) di Bondowoso, Situbondo, Jember dan Probolinggo ini saya sampaikan ke Gubernur Jatim. Beliau responsif. Saya dengar Beliau sudah berupaya tapi ternyata hasilnya belum optimal..Ini perlu langkah nyata dan terus menerus. Tidak mudah. Masalahnya bukan karena keberadaan toilet tetapi lebih ke masalah kultur yg penanganannya perlu sangat komprehensif.
JSH
Bandung May 2020
In the time of Covid19 stay at home.
Open Defacation: Primitive Culture
Open Defacation: Primitive Culture
By: Jousairi Hasbullah
Open defecation is the people'traditional habit of defecating outside, in the open environment, rather than using a toilet. They have no toilet even for some, still no need toilet.
SDGs goal 6 mentions priority for clean water and sanitation. It requires all people access to sanitation and hygiene, and ending to open defecation. What is open defacation? That is when people defecate with no toilet, in the open such as in the bushes, rivers, in the fields, forest related.
Based on the goals mentioned, UN and member countries are committed to end open defecation by 2030. This was also declared on the occasion of World Toilet Day, which is marked annually on 19 November 2019.
People defacates on the fields, bushes, forests, ditches, streets, canals or other open space. They do so because either they do not have a toilet readily accessible or due to a traditional cultural practices.
The current estimate 2019 of around 673 million people practise open defecation.This figure already decrease from of about 892 million people, or 12 percent of the global population, who practiced open defecation in 2016.In that year, seventy-six percent (678 million) of the 892 million people practicing open defecation in the world live in
UN estimated of around 673 million people in the world practicing open defacation, 91 percent lived in rural areas. The most practicing open defacation are those countries such as Sounthern Asia: espicially India, Southeast Asia: Indonesia and Cambodia, and Sub Sahara Africa.
Open defecation is a serious problem. Unicef mentioned that every one gram of faeces can contain one thousand parasite cysts, 10 million viruses and one million bacteria. Those who are not handwashing with soap after defacation and before eating caused 800 thousands death from diarrhoea annually.
Open defecation can pollute the environment and cause health problems. High levels of open defecation are linked to high child mortality, poor nutrition, poverty, and large disparities between rich and poor.
In Indonesia, number of those who live with: open defacation, defecation without toilet, are still very high. Still 7.6 percent of Indonesians defecate carelessly.
In Aceh 16.1 percent, Central Sulawesi 18.48 percent (the figure in Central Sulawesi in Figures, but the Central Figures 18.61 percent). In West Sulawesi 16.39 percent. In provinces with advanced infrastructure on Java, the situation is also alarming, especially in East Java (9.58 percent) and Banten (9.16 percent). In the industrial age 4.0 and the era of massive human resource development at present, people in developed provinces in Bondowoso Regency are still 37.6 percent of those who defecate without toilet. In Situbondo 36.1 percent, in Jember 28.1 percent. In Probolinggo district it is 27.5 percent. In Banten Province, Lebak regency was 27.1 percent, Pandeglang was 25.0 percent, even in Serang district was 15.0 percent. Open defacation in the garden, in the field, in Hakaman and other places, without toilet. Outside Java, which has very high open deflation rates include Mamuju regency in West Sulawesi 28.0 percent and Central Sulawesi in Donggala district with 31.6 p and Parigi Moutong 32.6 percent.
Where are the Governors, Regents and local civil society leaders. Why do you let the survival of primitive culture which is very dangerous to the survival of a generation. Living with a dirty and dangerous culture. Ironically this irregularity occurs in areas that are religiously known to be obedient and strong.
Note: when I was head of the East Java BPS, many times did the Bondowoso, Situbondo, Jember and Probolinggo issues mentioned to the East Java Governor. I heard that they have tried but the results have not been optimal ... it needs concrete steps and it is a must..
JSH
Bandung May 2020
In the time of Covid19 stay at home.
By: Jousairi Hasbullah
Open defecation is the people'traditional habit of defecating outside, in the open environment, rather than using a toilet. They have no toilet even for some, still no need toilet.
SDGs goal 6 mentions priority for clean water and sanitation. It requires all people access to sanitation and hygiene, and ending to open defecation. What is open defacation? That is when people defecate with no toilet, in the open such as in the bushes, rivers, in the fields, forest related.
Based on the goals mentioned, UN and member countries are committed to end open defecation by 2030. This was also declared on the occasion of World Toilet Day, which is marked annually on 19 November 2019.
People defacates on the fields, bushes, forests, ditches, streets, canals or other open space. They do so because either they do not have a toilet readily accessible or due to a traditional cultural practices.
The current estimate 2019 of around 673 million people practise open defecation.This figure already decrease from of about 892 million people, or 12 percent of the global population, who practiced open defecation in 2016.In that year, seventy-six percent (678 million) of the 892 million people practicing open defecation in the world live in
UN estimated of around 673 million people in the world practicing open defacation, 91 percent lived in rural areas. The most practicing open defacation are those countries such as Sounthern Asia: espicially India, Southeast Asia: Indonesia and Cambodia, and Sub Sahara Africa.
Open defecation is a serious problem. Unicef mentioned that every one gram of faeces can contain one thousand parasite cysts, 10 million viruses and one million bacteria. Those who are not handwashing with soap after defacation and before eating caused 800 thousands death from diarrhoea annually.
Open defecation can pollute the environment and cause health problems. High levels of open defecation are linked to high child mortality, poor nutrition, poverty, and large disparities between rich and poor.
In Indonesia, number of those who live with: open defacation, defecation without toilet, are still very high. Still 7.6 percent of Indonesians defecate carelessly.
In Aceh 16.1 percent, Central Sulawesi 18.48 percent (the figure in Central Sulawesi in Figures, but the Central Figures 18.61 percent). In West Sulawesi 16.39 percent. In provinces with advanced infrastructure on Java, the situation is also alarming, especially in East Java (9.58 percent) and Banten (9.16 percent). In the industrial age 4.0 and the era of massive human resource development at present, people in developed provinces in Bondowoso Regency are still 37.6 percent of those who defecate without toilet. In Situbondo 36.1 percent, in Jember 28.1 percent. In Probolinggo district it is 27.5 percent. In Banten Province, Lebak regency was 27.1 percent, Pandeglang was 25.0 percent, even in Serang district was 15.0 percent. Open defacation in the garden, in the field, in Hakaman and other places, without toilet. Outside Java, which has very high open deflation rates include Mamuju regency in West Sulawesi 28.0 percent and Central Sulawesi in Donggala district with 31.6 p and Parigi Moutong 32.6 percent.
Where are the Governors, Regents and local civil society leaders. Why do you let the survival of primitive culture which is very dangerous to the survival of a generation. Living with a dirty and dangerous culture. Ironically this irregularity occurs in areas that are religiously known to be obedient and strong.
Note: when I was head of the East Java BPS, many times did the Bondowoso, Situbondo, Jember and Probolinggo issues mentioned to the East Java Governor. I heard that they have tried but the results have not been optimal ... it needs concrete steps and it is a must..
JSH
Bandung May 2020
In the time of Covid19 stay at home.
Friday, May 8, 2020
Transendental dan Imanen
TRANSENDENTAL dan IMANEN
Oleh: Jousairi Hasbullah
Sering sekali dalam suatu tulisan kita membaca dan atau di seminar mendengar kata transendental dan imanen. Dalam bulan Ramadhan yang penuh getaran, kenikmatan dan keindahan ini tentu relevan untuk sedikit mengulas tentang kedua istilah tersebut.
Para filsuf yang menjelaskan tentang Tuhan yang transenden dimulai dari Pythagoras, Plato dan Philo Judaeus. Tuhan yang transenden memiliki sifat yang berbeda dengan Tuhan yang imanen.
Ketika mengalami yang transenden, manusia bersentuhan dengan perasaan yang unique. Di satu sisi, merasa sangat tertarik karena pesona fascinosum, tetapi di sisi lain ia merasakan gemetar dan ketakutan karena yang transenden itu tremendum (memaksa/mengancam). Dalam istilah lain sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang tremendum et fascinans ( menggetarkan dan menakjubkan dan di luar kemampuan akal manusia).
Mereka yang mengalami proses transenden itu, seperti para sufi. Manusia akan lupa dirinya. Hanyut dengan yang transenden dan menikmati perjumpaan dengan sang khalik.
Tuhan itu transenden. Artinya Tuhan itu melampaui dunia ini. Tetapi sekaligus berada dalam realitas dunia ini yang disebut immanen.Tuhan ada di dunia ini sekaligus melampaui dunia ini: transenden dan immanen.
Dengan keterangan ini jelas bahwa Tuhan tidak bisa kita pikirkan atau bayangkan sosoknya. Tuhan berada di luar kemampuan akal, walau bisa dirasakan keberadaannya. Ingin lebih dekat dengan-Nya..mari kita mengasah rasa. Karena hanya rasa yg membangun keyakinan ( iman) dan bersentuhan dengan realitas yang imanen.
Ingin mengenal Alloh yang Immanen? Kenali dirimu. Rasulullah bersabda “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.” Jalaluddin Rumi, yang terkenal dengan puisi-puisi sufistiknya menyusun buku berjudul: Yang Mengenal Dirinya, Mengenal Tuhannya, yang berisi aforisme-aforisme ( prinsip or kebenaran yg sudah diterima oleh umum) sufistik. Luar biasa indahnya dan sangat dalam maknanya. Buku ini merupakan salah satu magnum opus (masterpiece/Adi Karya) tokoh ini. Buku Yang Mengenal Dirinya, Mengenal Tuhannya, yang dalam bahasa Arabnya berjudul Fîhi ma Fîhi adalah karya terbaik dalam bentuk aforisme sufistik.
Akhir-akhir ini saya merasakan getaran2 itu. Saya merasakan kedekatan-Nya..dan yakin: haqqul yakin bahwa Tuhan,Alloh itu memang ada. Sesuatu yg TRANSENDEN DAN IMANEN/immanen.
JSH
Bandung. Ramadhan ke 16
Dalam suasana stay at home Covid19.
9 May 2020.
Oleh: Jousairi Hasbullah
Sering sekali dalam suatu tulisan kita membaca dan atau di seminar mendengar kata transendental dan imanen. Dalam bulan Ramadhan yang penuh getaran, kenikmatan dan keindahan ini tentu relevan untuk sedikit mengulas tentang kedua istilah tersebut.
Para filsuf yang menjelaskan tentang Tuhan yang transenden dimulai dari Pythagoras, Plato dan Philo Judaeus. Tuhan yang transenden memiliki sifat yang berbeda dengan Tuhan yang imanen.
Ketika mengalami yang transenden, manusia bersentuhan dengan perasaan yang unique. Di satu sisi, merasa sangat tertarik karena pesona fascinosum, tetapi di sisi lain ia merasakan gemetar dan ketakutan karena yang transenden itu tremendum (memaksa/mengancam). Dalam istilah lain sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang tremendum et fascinans ( menggetarkan dan menakjubkan dan di luar kemampuan akal manusia).
Mereka yang mengalami proses transenden itu, seperti para sufi. Manusia akan lupa dirinya. Hanyut dengan yang transenden dan menikmati perjumpaan dengan sang khalik.
Tuhan itu transenden. Artinya Tuhan itu melampaui dunia ini. Tetapi sekaligus berada dalam realitas dunia ini yang disebut immanen.Tuhan ada di dunia ini sekaligus melampaui dunia ini: transenden dan immanen.
Dengan keterangan ini jelas bahwa Tuhan tidak bisa kita pikirkan atau bayangkan sosoknya. Tuhan berada di luar kemampuan akal, walau bisa dirasakan keberadaannya. Ingin lebih dekat dengan-Nya..mari kita mengasah rasa. Karena hanya rasa yg membangun keyakinan ( iman) dan bersentuhan dengan realitas yang imanen.
Ingin mengenal Alloh yang Immanen? Kenali dirimu. Rasulullah bersabda “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.” Jalaluddin Rumi, yang terkenal dengan puisi-puisi sufistiknya menyusun buku berjudul: Yang Mengenal Dirinya, Mengenal Tuhannya, yang berisi aforisme-aforisme ( prinsip or kebenaran yg sudah diterima oleh umum) sufistik. Luar biasa indahnya dan sangat dalam maknanya. Buku ini merupakan salah satu magnum opus (masterpiece/Adi Karya) tokoh ini. Buku Yang Mengenal Dirinya, Mengenal Tuhannya, yang dalam bahasa Arabnya berjudul Fîhi ma Fîhi adalah karya terbaik dalam bentuk aforisme sufistik.
Akhir-akhir ini saya merasakan getaran2 itu. Saya merasakan kedekatan-Nya..dan yakin: haqqul yakin bahwa Tuhan,Alloh itu memang ada. Sesuatu yg TRANSENDEN DAN IMANEN/immanen.
JSH
Bandung. Ramadhan ke 16
Dalam suasana stay at home Covid19.
9 May 2020.
Thursday, May 7, 2020
Lampung: the Javanese Province
Lampung: The Javanese Province
By: Jousairi Hasbullah
Lampung province is unique. The Lampung people or ethnic group is not the largest ethnic group in its own province. Although Javanese is rank one in several provinces outside Java Island, but the domination of Javanese in Lampung is of much more signigicant.
Javanese ethnic group is the largest and most significant-dominated ethnic group in Lampung contributing 64.06 persen. This is due to the fact that Lampung was the first destination of transmigrants..in which people were moved away from the crowded island of Java.
The Lampung ethnic group were only the second largest..and the gap is very sharp. The Lampung ethnic were only 13.54 percent to the total population of Lampung province.
I give you the composition of ethnic group in Lampung province from the result of 2010 Indonesia Population Census.
1. Javanese 4.856 805 or 64.06 %
2. Lampung 1 026 693 or 13.54 %
3. Sundanese 728 715 or 9.61%
4.Bantenese 172 371 or 2.27%
5. Malay 161 030 or 2.12%
6. Palembang 144 513 or 1.91%
7.Ogan 106 669 or 1.41%
8.Balinese 104 606 or 1.38%
9.Minangkabau 69652 or 0.92%
10. Batak 52 311 or 0.69%
11.Other 158 584 or 2.09%
Total 7.581.948 or 100.0%
By adding Sundanese and Bantenese ( originally from island of Java) to the Javanese..the ethnic group originated from the island of Java residing in Lampung consists of more than three quarters of the total population of Lampung. If we add all ethnics other than Lampung ethnic, this is very interesting one. 86 persen of Lampung people are not Lampung ethnic.
JSH
In the moment of staying at home due to the Covid19.
Bandung 7 May 2020.
By: Jousairi Hasbullah
Lampung province is unique. The Lampung people or ethnic group is not the largest ethnic group in its own province. Although Javanese is rank one in several provinces outside Java Island, but the domination of Javanese in Lampung is of much more signigicant.
Javanese ethnic group is the largest and most significant-dominated ethnic group in Lampung contributing 64.06 persen. This is due to the fact that Lampung was the first destination of transmigrants..in which people were moved away from the crowded island of Java.
The Lampung ethnic group were only the second largest..and the gap is very sharp. The Lampung ethnic were only 13.54 percent to the total population of Lampung province.
I give you the composition of ethnic group in Lampung province from the result of 2010 Indonesia Population Census.
1. Javanese 4.856 805 or 64.06 %
2. Lampung 1 026 693 or 13.54 %
3. Sundanese 728 715 or 9.61%
4.Bantenese 172 371 or 2.27%
5. Malay 161 030 or 2.12%
6. Palembang 144 513 or 1.91%
7.Ogan 106 669 or 1.41%
8.Balinese 104 606 or 1.38%
9.Minangkabau 69652 or 0.92%
10. Batak 52 311 or 0.69%
11.Other 158 584 or 2.09%
Total 7.581.948 or 100.0%
By adding Sundanese and Bantenese ( originally from island of Java) to the Javanese..the ethnic group originated from the island of Java residing in Lampung consists of more than three quarters of the total population of Lampung. If we add all ethnics other than Lampung ethnic, this is very interesting one. 86 persen of Lampung people are not Lampung ethnic.
JSH
In the moment of staying at home due to the Covid19.
Bandung 7 May 2020.
Wednesday, May 6, 2020
West Java and East Java: Comparision
West Java and East Java: Comparison
By: Jousairi Hasbullah.
There are two largest provinces in Indonesia today, namely Java Tumur and West Java. In terms of population, West Java is very prominent. Its population reaches 49 316 712 people. Nearly 50 million people. This means, one province of West Java is equivalent to twice the population of the country of Australia (25 milions) or three times the population of the Netherlands (17 million) or eleven times the population of New Zealand (4.8 million).
The population of East Java who occupies the second position amounts to 40 million (39.7 milions). It is also very large, equivalent to the population of the large country of Argentina (43 millions).
West Java province is relatively more prosperous than East Java. The poor population of West Java in September 2019 was 6.82 percent compared to East Java which was 10.20 percent.
West Java's Life Expectancy (Eo) 2019 is 72.85 higher than East Java's 71.18. Also reflected in the figures of the Human Development Indexs (HDI). West Java HDI reaches 72.03 while East Java of 71.50.
From the economic side. East Java is much larger achievement in term of GRDP compare to West Java. The GRDP of East Java of 2 352.4 trillions rupiahs in 2019. While the figures of West Java in 2019 reached 2.125.2 trillion rupiahs. These two figures calculated using the current price. It means the valuation made on goods and services at the current years'price. In term of Economic Growth 2019, East Java of 5.52 percent was higher compared to West Java of 5.07 percent.
From these indicators used above. It is clear that from the demographic and social point of view, West Java province is larger and in some cases better than East Java. But from the economic-accumulation point of view, East Java is larger than West Java. Also..number of villages in East Java of 8 501 villages outstripped number of West Java villages of 5957 according to the last Village Potensial Census ( Podes) 2018.
JSH
In the Mid of 2020 Ramadhan.
Bandung..14th of Ramadhan 6 May 2020
In the situation of misery of stay at home due to Covid19.
By: Jousairi Hasbullah.
There are two largest provinces in Indonesia today, namely Java Tumur and West Java. In terms of population, West Java is very prominent. Its population reaches 49 316 712 people. Nearly 50 million people. This means, one province of West Java is equivalent to twice the population of the country of Australia (25 milions) or three times the population of the Netherlands (17 million) or eleven times the population of New Zealand (4.8 million).
The population of East Java who occupies the second position amounts to 40 million (39.7 milions). It is also very large, equivalent to the population of the large country of Argentina (43 millions).
West Java province is relatively more prosperous than East Java. The poor population of West Java in September 2019 was 6.82 percent compared to East Java which was 10.20 percent.
West Java's Life Expectancy (Eo) 2019 is 72.85 higher than East Java's 71.18. Also reflected in the figures of the Human Development Indexs (HDI). West Java HDI reaches 72.03 while East Java of 71.50.
From the economic side. East Java is much larger achievement in term of GRDP compare to West Java. The GRDP of East Java of 2 352.4 trillions rupiahs in 2019. While the figures of West Java in 2019 reached 2.125.2 trillion rupiahs. These two figures calculated using the current price. It means the valuation made on goods and services at the current years'price. In term of Economic Growth 2019, East Java of 5.52 percent was higher compared to West Java of 5.07 percent.
From these indicators used above. It is clear that from the demographic and social point of view, West Java province is larger and in some cases better than East Java. But from the economic-accumulation point of view, East Java is larger than West Java. Also..number of villages in East Java of 8 501 villages outstripped number of West Java villages of 5957 according to the last Village Potensial Census ( Podes) 2018.
JSH
In the Mid of 2020 Ramadhan.
Bandung..14th of Ramadhan 6 May 2020
In the situation of misery of stay at home due to Covid19.
Poverty in East Java and Indonesia
Poverty in East in Java and Indonesia
By: Jousairi Hasbullah
I do want to start our discussion with someting general, simple..very simple related to poverty. What I am going to say is that the efforts to reduce poverty must be accompanied by a good understanding of what povertuly means. If there is a gap between policies to reduce poverty and a correct understanding of the concept and measurements, it is very likely that the results will be different from what is expected.
Measuring poverty in Indonesia and applied to all provinces and district as well, the concept being used is monetary. Poverty is the lack of income in the form of money to maintain the basic level of household expenditure. As we know, out of 84 developing countries, according to the inventories of the United Nations Statistics Divisions, more than 50 percent countries are using the expenditure approach for consupmtion, 30 percent countries use the income approach, and the rest are combination of the two.
In determining whether someone is poor or not, what is used is the amount of money to purchase the food consisting the minimum amount of calories ( 2100 kcalories) per day plus the most basic of non-food needs. This amount of money is then used to set the poverty line. Below the line, the population is classified as poor. What is the result? I just want to give you the figures. It is of your challenges to give meaning to the figures below..a very simple example:
Poverty (%) East Java Indonesia
1999 29,47 23,40
2000 22,77 19,14
2004 20,08 16,70
2005 19,95 15,97
2008 18,51 15,40
2010 15,26 13,30
2011 14.23 12,49
2013 Mar 12,55 11,36
2016 Maret 12,05 10,86
2017 Maret 11,77 10 64
2019 Maret 10,37 9,41
2019Septmber10,20 9,22
Twenty years ago, the gap of the poverty rate between East Java and National figures was very wide of around 6 percent. But now the gap become narrower of only around 1 percent. It means the speed of poverty reduction in east Java better compared to national average.
Using these sets of data does not mean simply publishing the figures and then debating them. To use the data in meaningful way, one must understand the concept, definition, measurement method and characteristics in the data.
JSH
Ramadhan 14. 6 May 2020.
In the moment of stay at home. Covid19.
By: Jousairi Hasbullah
I do want to start our discussion with someting general, simple..very simple related to poverty. What I am going to say is that the efforts to reduce poverty must be accompanied by a good understanding of what povertuly means. If there is a gap between policies to reduce poverty and a correct understanding of the concept and measurements, it is very likely that the results will be different from what is expected.
Measuring poverty in Indonesia and applied to all provinces and district as well, the concept being used is monetary. Poverty is the lack of income in the form of money to maintain the basic level of household expenditure. As we know, out of 84 developing countries, according to the inventories of the United Nations Statistics Divisions, more than 50 percent countries are using the expenditure approach for consupmtion, 30 percent countries use the income approach, and the rest are combination of the two.
In determining whether someone is poor or not, what is used is the amount of money to purchase the food consisting the minimum amount of calories ( 2100 kcalories) per day plus the most basic of non-food needs. This amount of money is then used to set the poverty line. Below the line, the population is classified as poor. What is the result? I just want to give you the figures. It is of your challenges to give meaning to the figures below..a very simple example:
Poverty (%) East Java Indonesia
1999 29,47 23,40
2000 22,77 19,14
2004 20,08 16,70
2005 19,95 15,97
2008 18,51 15,40
2010 15,26 13,30
2011 14.23 12,49
2013 Mar 12,55 11,36
2016 Maret 12,05 10,86
2017 Maret 11,77 10 64
2019 Maret 10,37 9,41
2019Septmber10,20 9,22
Twenty years ago, the gap of the poverty rate between East Java and National figures was very wide of around 6 percent. But now the gap become narrower of only around 1 percent. It means the speed of poverty reduction in east Java better compared to national average.
Using these sets of data does not mean simply publishing the figures and then debating them. To use the data in meaningful way, one must understand the concept, definition, measurement method and characteristics in the data.
JSH
Ramadhan 14. 6 May 2020.
In the moment of stay at home. Covid19.
Sekelumit Jawa Timur
Sekelumit Jawa Timur
Oleh: Jousairi Hasbullah
Tahun 750an kerajaan Syailendra mengganti kerajaan Mataram kuno yg diperintah oleh dinasti Sanjaya. Sanjaya ditaklukkan oleh Syailendra. Raja Syailendra terkenal bernama Samarottungga yang membangun candi Borobudur. Samarottungga digantikan oleh putra dari selir: Balaputra Dewa. Terjadi perebutan kekuasaan dg Pramodhawardhani ( anak dari permaisuri). Balaputradewa mengalami kekalahan lalu pindah ke Palembang membangun kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan mataram yang kalah, pindah ke Jawa Timur. Berdirilah kerajaan Medang Kamulan dengan rajanya Mpu Sindok. Inilah cikal bakal kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur. Medang Kamulan terbagi dua: Jenggala dan Kediri. Kediri memiliki raja terkenal yaitu Jayabaya. Muncul kemudian kerajaan Singosari yg berpusat di Malang diperintah oleh Ken Arok.
Puncak kejayaan Singosari ketika dipimpin oleh Kertanegara yg kemudian dibunuh oleh Jayakatwang. Ponakan Kertanegara: Raden Wijaya lari ke Sumenep. Raja Sumenep Arya Wiraraja memberikan lahan di desa Tarik, Trowulan, Mojokerto kepada Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Mojopahit. Raja pertama: Rd Wijaya-Tribuana Tungga Dewi-Hayam Wuruk. Raja terakhir: Brawijaya.
Cerita ringkas sejarah selesai.
Mari meloncat ke cerita penduduk Jawa Timur. Begini:
Jumlah Penduduk Jatim:
1. 1802 : 1 267 700
2. 1815: 1 629 628
3. 1860: 4 532 666
4. 1900: 10 281 453
5. 1920: 12 470 079
6. 1930: 14 810 754
7. 1961: 21 823 020
8. 1971: 25 516 999
9. 1980: 29 188 852
10.1990: 32 503 991
11. 2000: 34 783 640
12.2010: 37 565 706
13.2019 : 39 698 631
Data penduduk ini sangat penting. Memperlihatkan stok SDM yang tersedia. Penduduk Jatim no 2 tertinggi di Indonesia setelah Jawa Barat yg mencapai 49 316 712 jiwa.
Demikian. Sekadar cuplikan kecil untukmu.
JSH
Ramadhan. 7 Mai 2020 saat PSBB Covid19.
Oleh: Jousairi Hasbullah
Tahun 750an kerajaan Syailendra mengganti kerajaan Mataram kuno yg diperintah oleh dinasti Sanjaya. Sanjaya ditaklukkan oleh Syailendra. Raja Syailendra terkenal bernama Samarottungga yang membangun candi Borobudur. Samarottungga digantikan oleh putra dari selir: Balaputra Dewa. Terjadi perebutan kekuasaan dg Pramodhawardhani ( anak dari permaisuri). Balaputradewa mengalami kekalahan lalu pindah ke Palembang membangun kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan mataram yang kalah, pindah ke Jawa Timur. Berdirilah kerajaan Medang Kamulan dengan rajanya Mpu Sindok. Inilah cikal bakal kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur. Medang Kamulan terbagi dua: Jenggala dan Kediri. Kediri memiliki raja terkenal yaitu Jayabaya. Muncul kemudian kerajaan Singosari yg berpusat di Malang diperintah oleh Ken Arok.
Puncak kejayaan Singosari ketika dipimpin oleh Kertanegara yg kemudian dibunuh oleh Jayakatwang. Ponakan Kertanegara: Raden Wijaya lari ke Sumenep. Raja Sumenep Arya Wiraraja memberikan lahan di desa Tarik, Trowulan, Mojokerto kepada Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Mojopahit. Raja pertama: Rd Wijaya-Tribuana Tungga Dewi-Hayam Wuruk. Raja terakhir: Brawijaya.
Cerita ringkas sejarah selesai.
Mari meloncat ke cerita penduduk Jawa Timur. Begini:
Jumlah Penduduk Jatim:
1. 1802 : 1 267 700
2. 1815: 1 629 628
3. 1860: 4 532 666
4. 1900: 10 281 453
5. 1920: 12 470 079
6. 1930: 14 810 754
7. 1961: 21 823 020
8. 1971: 25 516 999
9. 1980: 29 188 852
10.1990: 32 503 991
11. 2000: 34 783 640
12.2010: 37 565 706
13.2019 : 39 698 631
Data penduduk ini sangat penting. Memperlihatkan stok SDM yang tersedia. Penduduk Jatim no 2 tertinggi di Indonesia setelah Jawa Barat yg mencapai 49 316 712 jiwa.
Demikian. Sekadar cuplikan kecil untukmu.
JSH
Ramadhan. 7 Mai 2020 saat PSBB Covid19.
Religion and Ethnicity
By: Jousairi Hasbullah
Religions
In Indonesia, there are at least 8 original religions. Sundanese wiwitan, Kejawen, Marapu, Buhun, Kaharingan, Ugamo Malim, Tolotang and Madrais. But only 6 official religions are recognized. What is their population?
Data on religious adherents in Indonesia can be obtained from administrative records (KTP) and from the Population Census. In both sources it lists and or cultivates only official religions: Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism, Buddhism and Konghuchu. In the Population Census (last census in 2010) actually respondents are free to include whatever religion they profess. But never processed one by one. Only the total number can be seen.
In 2010, the total number of adherents of religion other than 6 officially recognized religions: 296 979 people. That may be the population of the eight native religions mentioned and several other native religions plus Judaism.
Ethnicity
From another side, ethnicity is rather complicated. We used to have, in my records, around 1340 tribes in Indonesia. The last census recorded was 633 tribes. Many tribes no longer have members. Lost. Even, out of the 633 ethnics, 85 percent are the 15 biggest ethnicity. As many as 99.07 percent are only from 145 ethnics. That is, the other ethnics are very small in number. The 15 largest ethnics today: population and percentage of total population are:
(In Bahasa: juta means millions)
1. Jawa 95 juta org.40.1%
2. Sunda 37 juta 15.5 %
3. Melayu 8,8 juta 3.7%
4.Batak 8,5 juta 3,6%
5.Madura 7,2 juta 3.03 %
6.Betawi 6,8 juta 2,9%
7.Minang 6.4 juta 2 7%
8.Bugis 6,4 juta 2 71%
9.Banten 4,6 juta 1.96%
10.Banjar 4.1 juta 1,7%
11.Bali 3,9 juta 1.66%
12.Aceh 3,4 juta 1,44%
13.Dayak 3,2 juta 1,36%
14.Sasak 3.1 juta 1,34%
15.Tionghoa 2,8 jt 1,20%
...
41.Komering 370 ribu org 0,16 % saja😄😄suku ku.
..
145. Atingola 6 090 members only.
Note: 1. In DATA COLLECTION, the technique of classifying ethnicity is not purely Anthropology, but with Ethno Demographic technique: self declaration / self identification. 2. Chinese population if on the basis of anthropological is much bigger. By using the ethno-demographic method, Chineses who have tens of generations do not consider as Chinese but as Javanese or other to which he is affiliated with culture / assimilation.
3. Betawi always increase faster ... because people who have lived for generations in Jakarta, have identified themselves as Betawi.
Ethnodemography: fluid concept. JSH 6 Mai 2020.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Al Ghazali dan Kemunduran Umat
Tentang Al Ghazali Oleh: Jousairi Hasbullah Tentang kemunduran Islam yg kita rasakan sampai saat ini, dalam pemahaman saya terkait dua h...
-
Hati-hati dengan Usulan Lockdown terkait Virus Corona. (Jousairi Hasbullah) Beberapa pihak menginginkan pemerintah RI melaksanakan kebij...
-
Terbit Tahun 2006, MR United Press. Buku ini mengupas tentang bagaimana social capital mempengaruhi masa depan bangsa.
-
Jousairi Hasbullah: Auguste Comte 1838, Herbert Spencer 1850, and Karl Marx are founding generation of sociology. Modern sociologist can n...