Kultur Primitif: BAB tanpa Toilet
Oleh: Jousairi Hasbullah
Buang Air Besar (BAB) tanpa toilet atau yang secara internasional disebut, Open Defacation, mengundang masalah serius. UN mencanangkan lewat SDGs untuk menghapus tradisi buruk ini di tahun 2030.
Unicef mengingatkan bahwa setiap satu gram tinja dapat mengandung seribu kista parasit, 10 juta virus, dan satu juta bakteri. Mereka yang tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum makan menyebabkan 800 ribu kematian akibat diare setiap tahun. Dampak nyata lain dari tingginya angka Open Defacation ini ( BAB sembarangan): kematian bayi, stunting dan beragam problem kesehatan lainnya.
Tidak itu saja. Rumahtangga yang hidup tanpa toilet indikasi dari kultur primitif bonding, inert dan sulit berubah. Mereka sangat rawan kemiskinan dan berbagai problem keterbelakangan.
Di Indonesia, mereka yg hidup dengan :open defacation, BAB tanpa toilet, dari hasil Susenas, masih sangat memperihatinkan. Susenas 2019 masih menemukan bahwa 7.6 persen orang Indonesia BAB sembarangan. Di Aceh 16.1 persen, Sulteng 18.48 persen ( angka di Sulteng Dalam Angka, tapi Angka di Pusat 18.61 persen). Di Sulawesi Barat 16.39 persen.
Di provinsi dengan infrastruktur yg maju seperti di pulau Jawa, keadaannya juga tak kalah memperihatinkan, terutama di provinsi Jawa Timur (9.58 persen) dan provinsi Banten ( 9.16 persen).
Di zaman industri 4.0 dan di era pembangunan SDM besar-besaran saat ini, data Susenas 2019 menunjukkan bahea di provinsi maju Jawa Timur yaitu di Kabupaten Bondowoso masih 37.6 persen BAB tanpa toilet. Di Situbondo 36.1 persen, di Jember 28.1 persen. Di kabupaten Probolinggo sebesar 27.5 persen.
Di Provinsi Banten, kabupaten Lebak 27.1 persen, Pandeglang 25.0 persen, bahkan di kabupaten Serang sebesar 15.0 persen. Open defacation di kebun, di tanah lapang, di hakaman dan temoat lainnya, tanpa toilet.
Kabupaten Luar Jawa, yg masih sangat tinggi angka open defacationnya antara lain kabupaten Mamuju di Sulbar 28.0 persen dan di Sulteng di kabupaten Donggala sebesar 31.6 p dan Parigi Moutong sebesar 32.6 persen ( BPS, Susenas 2019)
Kemana para Gubernur, Bupati dan tokoh-tokoh masyarakat sipil setempat? Mengapa masih membiarkan terus bertahannya kultur primitif yang sangat membahayakan kelangsungan hidup suatu generasi. Hidup dengan kultur yg jorok dan berbahaya. Ironisnya ketidakwajaran ini terjadi di daerah-daerah yg secara religius: terkenal taat dan kuat.
Note: ketika saya masih menjabat Kepala BPS Jatim di tahun 2014, berapa kali fakta Open Defacation (BAB sembarangan) di Bondowoso, Situbondo, Jember dan Probolinggo ini saya sampaikan ke Gubernur Jatim. Beliau responsif. Saya dengar Beliau sudah berupaya tapi ternyata hasilnya belum optimal..Ini perlu langkah nyata dan terus menerus. Tidak mudah. Masalahnya bukan karena keberadaan toilet tetapi lebih ke masalah kultur yg penanganannya perlu sangat komprehensif.
JSH
Bandung May 2020
In the time of Covid19 stay at home.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Al Ghazali dan Kemunduran Umat
Tentang Al Ghazali Oleh: Jousairi Hasbullah Tentang kemunduran Islam yg kita rasakan sampai saat ini, dalam pemahaman saya terkait dua h...
-
Hati-hati dengan Usulan Lockdown terkait Virus Corona. (Jousairi Hasbullah) Beberapa pihak menginginkan pemerintah RI melaksanakan kebij...
-
Terbit Tahun 2006, MR United Press. Buku ini mengupas tentang bagaimana social capital mempengaruhi masa depan bangsa.
-
Jousairi Hasbullah: Auguste Comte 1838, Herbert Spencer 1850, and Karl Marx are founding generation of sociology. Modern sociologist can n...
Very good
ReplyDeleteWah..meuni jorok ya.masih ada ya?
ReplyDeleteSudah saatnya infrastruktur sanitasi jadi bagian dari prioritas. Sama pentingnya dengan infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi.
ReplyDeletePadahal program sanitasimas, kotaku tanpa kumuh, sdh ada
ReplyDeleteKalo di babel di Basel yg BAB sembarangannya masih tinggi 2x lipat di banding yg lain. Tp angkanya masih lbh rendah dibanding dibanding bondowoso dan situbondo
ReplyDelete