Kisruh Data untuk Bantuan terkait Covid19.
Oleh: Jousairi Hasbullah
Soal DATA kok jadi kisruh begini? Karena kita tau data tapi nggak paham data. Titik.
Untuk distribusi bantuan ke masyarakat bawah terkait dampak Covid19, data yg dijadikan rujukan adalah data Kemensos yg telah berkali-kali mereka verifikasi dari asalnya,data dasar hasil PBDT2015. Atau, bantuan diberikan bahkan tidak pake rujukan data.
Tulisan kecil ini sekadar info aja. Siapa tau dpt menambah pemahaman kita terkait data. Kebetulan, waktu itu sy pernah kerja di BPS. Jadi sedikit tau ikhwal data untuk Social Targetting.
Indonesia punya pendataan khusus untuk social targetting. Bantuan sosial. Untuk cash transfer ( CT ) atau yg conditional (CCT) seperti PKH dll. Sudah EMPAT kali BPS ikut membantu pemerintah menyediakan data untuk Perlindungan Sosial ( Statistik sesungguhnya tidak berurusan dengan data invidual, tapi aggregatif. Walau UNSD akhir-akhir ini cenderung dilematis)
Pertama, tahun 2005. Namanya Pendataan Sosial Ekonomi ( PSE2005). Mendata 19.1 juta Rumahtangga Sasaran ( RTS) untuk keperluan penyaluran BLT 2005. Lalu data ini diperbaharui tahun 2008 menghasilkan 18.5 juta RTS, juga untuk penyempurnaan distribusi BLT. Lalu diperbaharui lagi thn 2011, namanya PPLS ( Pendataan Program Perlindungan Sosial) menghasilkan 25.2 juta RTS untuk tujuan distribusi BLSM, KKS, KIS, KIP 2014. Mengapa datanya beda? Itu tergantung kebutuhan target sasaran oleh Pemerintah seperti program-program tersebut di atas.
Pendataan masif terakhir yang melibatkan BPS sebagai pelaksana di lapangan adalah Pendataan Basis Data Terpadu Tahun 2015 ( PBDT2015) untuk mendapatkan 40 persen, secara nasional, penduduk dg dengan sosial-ekonomi terbawah. Tiap provinsi tentu hasilnya berbeda-beda tergantung tingkat kemiskinannya. Contoh Papua. Sekitar 80 persen orang Papua masuk ke dalam basket 40 persen rumah tangga dg sosek terbawah Nasional. DKI cuma 11 persen yg masuk basket tersebut.
Pendataan BDT 2015 sangat komprehensif. Prosesnya sangat holistik-integratif. Melibatkan disiplin ilmu statistik yang rumit dan telaten, dikombinasikan dengan pengetahuan sosiologis yang cerdas-relevan-koheren sesuai situasi sosiologis masyarakat in situ. Tahapannya disebut sebagai EMIC proses. Artinya mengakomodasi pandangan In-Situ ( lokal komunitas kecil) melalui tahapan penting yang disebut Forum Konsultasi Publik (FKP).
FKP ini diikuti oleh para Kades, Kadus, Ketua RW/RT, Tomas dan Toga. Se Indonesia tersedia 25,2 juta Rumah Tangga listed (RTS) hasil PPLS 2011 ditambah 2.8 juta ruta data program. Total ada 28 juta rumahtangga yg kemudian di verifikasi di forum FKP. Hasilnya diperoleh 24.1 juta rumahtangga verified ditambah 4.7 juta rumahtangga usulan baru dari peserta FKP. Total 28.8 juta rumah tangga.
Proses selanjutnya, adalah tahapan dengan proses statistik yg rumit berupa pendataan lapangan ( tidak ditemukan 2.6 juta rumahtangga dan ada temuan baru sebanyak 911 ribu rumah tangga). Kemudian dilakukan pengolahan data dan proses statistik yang komprehensif-precise yaitu berupa proses PMT ( Proxy Mean Test). Hasil akhir diperoleh: 25 771 493 rumah tangga atau 93 026 921 jiwa. Mereka adalah 40 persen nasional, berada di sosial ekonomi terbawah. Semua program Perlindungan Sosial yang ada mengacu ke Data ini, entah semuanya atau dengan sebagian datanya. Tergantung siapa dan seberapa besar target sasaran.
Betul. Data terakhir itu data 2015. BPS mendatanya. TNP2K yang punya data dan berkolaborasi dg masing2 pemda. Kemudian, data basenya sesuai UU, dipegang oleh Kemensos. Setiap enam bulan dimutakhirkan oleh jajaran Kemensos. Sejak thn 2015 BPS tidak lg terlibat. Dinas Sosial masing2 prov/kabupaten/kota yang memutakhirkannya. Sudah pasti melibatkan RT/RW setempat dan petugas Dinsos.
Apa yg terjadi? Wallohuaklam. Yang jelas prinsip-prinsip objektivitas statistik, cenderung tidak lagi digunakan.
Data 40 persen: Relevankah untuk RTS Bantuan Covid19?
Pandangan saya. Pertama,
Kalau verifikasi selama beberapa tahun terakhir ini yg dilakukan oleh Kemensos, maksimal, data tersebut sangat bagus. Tetapi jika prosesnya minimalis, hasilnya dipastikan justru akan mengundang masalah. Tetapi walau datanya terverifikasi dg baik sekalipun, belum tentu pas untuk dijadikan satu-satunya rujukan.
Kedua, data PBDT2015 menghasilkan batas tingkatan sosial ekonomi di level faktual-lapangan sangat "imajiner"-matematis. Pemotongan batas 40 persen terbawah dengan yang di atasnya bagi keilmuan statistik: sangat biasa dan jelas. Bagi awam kadang sangat tidak jelas. Karena mereka yang "diperbatasan"/ di garis batas, kadang tak bisa dibedakan oleh awam tapi bisa dibedakan oleh hasil hitungan, skor, statistik. Jadi kalau data yang asalnya bagus tersebut tiba2 diaplikasikan begitu saja di lapangan akan sangat riskan. Karena mereka yang berada di sekitar garis batas (yang tidak masuk dalam basket) secara kasat mata situasinya tidak berbeda dg mereka yang dalam basket 40 persen.
Ketiga, penggunaan data yang ada sekarang, itu ( kalau verifikasi oleh kemensos benar) hanya cocok untuk kondisi normal. Bukan kondisi Konjungtural. Dalam kondisi bencana tiba-tiba ( faktor konjungturnya yg lebih menonjol) jutaan orang ramai-ramai jatuh menjadi miskin. PHK besar2an, buruh dan pengusaha rumah tangga yg tiba2 kehilangan pekerjaan, maka dengan hanya mempedomani data yang ada saat ini: jelas Blunder besar dan sangat tidak cerdas.
JSH
During Stay at Home Covid19.
Bandung 10 May 2020.